Kamis, 06 Mei 2010

kebebasan beragama

I. PEMBUKA
Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya. Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/ menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.
II. MAKNA KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN
Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan ke dalam 8 (delapan) komponen yaitu;
1. Kebebasan Internal
Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal
Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan
Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun.
III. JAMINAN KEMERDEKAAN BERAGAMA DALAM UUD & UU
1. UUD 1945 Pasal 28E, ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
2. UUD pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
4. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18.
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasan nya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi, „Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hukum tentang agama yang diakui dan tidak diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, „Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya....“. Perkataan “seperti“ dalam penjelasan ini perlu digarisbawahi sebab perkataan ini menunjukkan bahwa agama-agama yang disebutkan hanyalah sekedar contoh tentang agama-agama di luar ke-6 agama yang disebutkan dalam UU/ PNPS/ No. 1 Tahun 1965.
IV. KEWENANGAN PEMERINTAH DI DALAM MENGATUR KEBEBASAN UNTUK MENJALANKAN AGAMA ATAU KEPERCAYAAN
Berdasarkan apa yang tersurat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 70 dan tersurat dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18 ayat (3) yang telah diratifikasi DPR RI, maka Pemerintah dapat mengatur/ membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang.
Beberapa contoh diberikan di bawah ini elemen-elemen apa yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut.
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat)
Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di publik dapat dilakukan pemerintah seperti pada prosesi keagamaan, upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat)
Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum/masyarkat, antara lain keharusan mendaftar badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadat yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat)
Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit tbc. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfusi darah, melarang penggunaan helm pelindung kepala?
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat)
Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
5. Restriction For The Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan orang lain).
5.1. Proselytism (Penyebaran Agama)
Dengan adanya hukuman terhadap tindakan Proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.
5.2. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas phisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas.
V. PENUTUP
Pendirian rumah ibadat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan melaksanakan agama/ kepercayaan, oleh kerena itu pemerintah dapat mengaturnya. Saat ini (tepatnya sejak tgl. 21 Maret 2006) pemerintah (cq. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) telah mengeluarkan Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006/ No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Terdapat permasalahan hukum, karena Peraturan Bersama Menteri kedudukannya di bawah Undang-Undang. Tindakan yang diambil pemerintah di atas tidak sesuai dengan perintah yang ada dalam UU No. 39 tahun 1999, maupun Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang mensyaratkan bahwa pembatasan kekebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan hanya dapat diatur/dibatasi melalui perundang-undangan. Oleh karena itu semestinya kalau bangsa Indonesia memandang mendesak kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan, salah satunya pembangunan rumah ibadat, maka mesti diatur, pemerintah dan DPR harus segera pula membuat Undang-Undang nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar