Senin, 14 Juni 2010

Remaja, Dunia Penuh Ekspresi

Seorang ibu terbengong-bengong karena anak lelakinya yang menginjak usia 17 tahun ingin mengenakan anting. Pasalnya, ia remaja yang baik-baik saja, dan cenderung disukai oleh teman, guru, maupun orangtuanya sendiri karena selalu berperan sesuai harapan.

Anting bagi para orangtua tradisional hanya pantas dikenakan wanita. Itulah sebabnya keinginan si remaja pria itu sulit dimengerti oleh sang ibu. Ketika ditanya alasan keinginannya, si anak hanya mengatakan, “Kan keren!?”

Ibu itu baru sedikit mengerti bagaimana arti kata “keren” ketika suatu saat mereka menikmati paduan suara yang indah, dikomandani seorang konduktor muda, notabene seorang pemuda dengan penampilan macho, meski mengenakan anting di sebelah telinganya. Pada saat itu si anak menyatakan, “Keren ‘kan, Bu?”

Tidak mudah menyelami kehidupan remaja. Apa yang mereka pikir, rasakan, dan lakukan, seringkali berbeda dengan yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya. Dari soal cara berpakaian, model rambut, dan aksesori hingga bagaimana mereka mengembangkan kebiasaan-kebiasaan berperilaku, biasanya mengundang komentar dari orangtua.

Dunia mereka penuh angan-angan indah. Namun, apa yang indah bagi mereka itu belum tentu dapat diterima oleh para orangtua.

Banyak orangtua yang dibuat khawatir karena perilaku anak remajanya, terutama karena mereka tidak lagi “manis” seperti ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, banyak orangtua dan guru yang cenderung memberikan label kepada mereka sebagai generasi yang sulit diatur.

Sebagai orangtua, sudah sepatutnya kita belajar untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh anak-anak kita yang tengah berada dalam masa remaja. Dengan itu keadaan yang menjengkelkan dapat berubah menyenangkan.

Perkembangan Psiko-Seksual
Kita tahu bahwa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja diawali dengan tanda-tanda kematangan seksual. Bagi remaja, perubahan pada aspek biologis ini merupakan pengalaman yang cukup mengejutkan.

Anak perempuan mulai mengalami menstruasi, dan anak laki-laki mulai mengalami mimpi basah. Konsekuensi dari perkembangan hormonal tersebut adalah perasaan-perasaan romantis terhadap lawan jenis.

Perkembangan tersebut merupakan peristiwa monumental, yakni membuat mereka mulai menyadari dirinya bukan lagi sebagai kanak-kanak. Ditambah lagi dengan perkembangan kognisi yang semakin lengkap, mampu berpikir secara teoretis/hipotetis, membuat remaja benar-benar mengalami dunia secara baru.

Dengan kemampuan kognisinya itu mereka mulai menilai dunianya secara lebih utuh. Mereka membutuhkan orangtua sebagai tempat bertanya dan mendapatkan rasa aman. Di sisi lain, mereka juga dapat menilai orangtuanya secara negatif bila tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka.

Pada masa ini remaja memasuki masa emansipasi. Mereka mengalami dorongan-dorongan untuk mengekspresikan diri secara orisinal. Mereka memiliki cita rasa baru yang sangat berbeda dengan ketika kanak-kanak, dan ingin dapat mengekspresikannya sebagaimana adanya.

Ada kalanya mereka ingin seperti orang dewasa yang dapat bebas memutuskan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Mereka membutuhkan pengakuan sebagai pribadi yang otonom.

Teman Sebaya
Dalam keadaan normal, keluarga merupakan satu-satunya tempat berlindung yang nyaman bagi anak. Namun, dengan berkembangnya dorongan untuk memiliki otonomi, mereka mulai menengok dunia di luar keluarga, yakni teman sebaya.

Begitu pentingnya teman sebaya bagi remaja, bahkan ada kalanya menjadi sangat penting melebihi keluarga. Hal ini disebabkan di sana mereka lebih bebas berekspresi, dapat bersama-sama mendapatkan pengalaman tentang dunia, dan dapat memperkuat identitas dirinya melalui aktivitas bersama.

Contohnya, mereka cenderung sama-sama menolak otoritas yang sewenang-wenang, baik di rumah maupun di sekolah. Mereka sama-sama menyukai keceriaan dan menolak situasi yang menekan. Kesamaan-kesamaan ini memungkinkan mereka untuk saling mendukung, termasuk dalam hal mengekspresikan diri.

Mereka sama-sama ingin mencoba hal-hal baru, tidak puas dengan hal-hal yang tradisional, melepaskan diri dari stereotip-stereotip yang dibangun oleh masyarakat. Model rambut, pakaian, sepatu, menjadi sarana mengekspresikan keinginannya akan orisinalitas.

Tato pada tubuh tidak lagi diartikan sebagai simbol kebrutalan; gaya punk tidak lagi dimaknai sebagai penampilan anak jalanan; anting tidak harus untuk wanita dan tidak pula dimaknai sebagai simbul gay, dan seterusnya.

Bagaimanapun, mengikuti kematangan seksual yang terjadi, mereka ingin dapat mengembangkan perilaku sesuai dengan peran jenisnya, sebagai pria atau wanita secara matang. Di antara teman sebaya mereka dapat mengekspresikan bagaimana perilaku yang matang sesuai tuntutan peran jenisnya.

Dalam kebersamaan itu mereka dapat saling memperkuat identitas dirinya. Dalam Psikologi Sosial sangat dimaklumi bahwa seseorang cenderung mengelola keanggotaannya dalam suatu kelompok dalam rangka mengelola konsep diri.

Dengan menjadi anggota kelompok, individu akan merasa memiliki identitas sosial yang pasti. Bagi remaja, identitas sosial sangat penting karena mereka masih membutuhkan kepastian siapa dirinya dalam masyarakat agar merasa berharga.

Secara keseluruhan, teman sebaya bagi remaja memiliki enam fungsi positif (Kelly & Hansen, dalam Dacey & Kenny, 1997): (a) mengendalikan impuls agresif; (b) mendapatkan dukungan sosial dan dukungan emosional serta kemandirian; (c) meningkatkan keterampilan sosial, kemampuan bernalar, dan mengekspresikan perasaan secara matang; (d) mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan perilaku sesuai peran jenis; (e) memperkuat nilai-nilai dan keputusan moral; (f) memperkuat harga diri (self esteem).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar